Tiap orang pasti mempunyai momentum perubahan dalam hidupnya. Momentum yang menjadikannya sebagai titik balik tolakan dalam melakukan perubahan. Momentum tersebut bagaikan cambuk yang memaksa dirinya melakukan perubahan. Biasanya momentum ini berupa kejadian atau peristiwa mengharukan. Seorang perokok berat akan memutuskan berhenti merokok saat ia terkapar di rumah sakit dalam keadaan kritis karena kerusakan paru-paru yang dialaminya.
Momentum ini dapat terjadi pada segi kehidupan apapun, termasuk dalam hal berkendara. Tiap orang mempunyai pengalaman berbeda mengenai berkendara yang sangat berpengaruh terhadap keahlian mengemudi kendaraan. Termasuk diri saya yang memiliki pengalaman menarik yang menjadikan momentum perubahan dalam kebiasaan berkendara.
Saya mulai belajar menyetir sepeda motor sejak kelas enam SD, dan saat SMP sudah mahir dalam mengemudi. Sejak saat itu saya pun mulai diandalkan untuk mengantarkan Bapak atau Ibu kemana-mana. Saya sudah terbiasa bepergian jarak jauh walaupun belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Saya menilai diri saya sebagai pengendara yang lihai, memiliki keahlian yang baik dan reflex yang baik pula. Terbukti sampai saat ini saya belum mengalami kecelakaan yang diakibatkan kecerobohan diri saya sendiri. Dalam berkendara, saya adalah orang yang gak mau ribet dengan segala perlengkapan seperti help, jaket, dan sepatu. Hal itu tidak harus saya pakai selama saya bisa hati-hati dan waspada dalam mengendarai sepeda motor.
Namun pada suatu hari, ketika saya sedang asik-asiknya bermain bersama keponakan-keponakan saya di rumah. Tiba-tiba telpon genggam saya berbunyi tanda pesang singkat masuk. Saya begitu terkejut ketika membaca pesan yang isinya memberitahu saya bahwa sahabat terbaik saya di kampus mengalami kecelakaan pada tengah malam itu dan mengalami luka serius di bagian wajah dan memar-memar di bagian dada dan kakinya. Saat itu ia di bawa ke Rumah Sakit Islam Jakarta di Pondok Kopi. Tanpa berpikir panjang lagi saya langsung berbegas ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan sahabat saya tersebut. Sesampainya di sana saya langsung menuju ruang tempat rawat inap, sedih rasanya melihat tubuh sahabat saya terbaring dengan wajah masih berlumuran darah kering dan baju yang belum sempat diganti. Masih terbayang gelak tawa, senda gurau kami kemarin siang di kampus sebelum berpisah pulang sore hari.
Ternyata ia tidak langsung pulang ke rumah malam itu, ia mampir ke rumah kakak kelasnya untuk menyelesaikan tugasnya hingga larut malam. Setelah selesai pada pukul 23.30 tengah malam ia nekat pulang ke rumahnya di daerah cakung Jakarta Timur walaupun kondisi tubuhnya sudah sangat letih. Saat di tengah perjalanan tepatnya di jalan I Gusti Ngurah Rai dekat stasiun kelender tanpa disadari matanya terpejam karena mengantuk. Begitu tersadar ia sudah tergeletak di pinggir jalan yang sangat sepi itu dengan merasakan nyeri di bagian wajah, ketika ia memegang wajahnya yang berlumuran darah itu ia baru menyadari bahwa saat itu ia baru saja terjatuh dan wajahnya yang hanya di lindungi helm half face tidak mampu melindunginya saat berbenturan dengan trotoar jalan, motornya pun ringsek. Sambil menahan sakit, ia berharap ada seseorang yang datang menolong. Akhirnya ada mobil patroli yang melintas segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Sejak pagi hingga malam saya menemaninya di ruang rawat inap, sambil menunggu hipotesis dokter mengenai luka-lukanya. Rasa haru ketika melihat Ibundanya tak henti-hentinya meneteskan air mata melihat anak sulungnya terkapar di tampat tidur. Saya pun berulang kali menghiburnya agar ia sedikit merasa tenang. Setlah lama menunggu akhirnya dokter pun datang memberitahukan hasil pemeriksaannya. Ternyata ia mengalami patah tulang hidung, dan rahang bagian bawahnya terlepas namun masih untung tidak ditemukan luka dalam yang serius di bagian kepala.
Keesokan harinya sahabat saya melakukan operasi ringan untuk pemasangan pen dan kawat gigi untuk menyatukan kembali tulang rahangnya. Kawat gigi itu dibuat mengunci mulutnya sehingga ia tidak bisa membuka mulut, hal itu dilakukan selama dua bulan lebih sampai tulang rahangnya menyatu kembali. Selama dua bulan itu pula ia harus makan makanan yang di haluskan dengan blender.
Peristiwa ini lah yang menjadi momentum bagi diri saya dalam berkendara. Sejak saat itu saya memperhatikan perlengkapan berkendara yang menunjang keamanan bagi diri sendiri. Saya selalu memakan jaket, sepatu dan tak lupa memakai helm yang berstandar nasional demi keselamatan walaupun harus merogoh kocek lebih. Serta lebih berhati-hati lagi dalam berkendara. Saya tidak ingin kejadian itu menimpa diri saya dan membuat Ibu dan Bapak saya sedih karenanya.
------------------------------------------ selesai ---------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar